jejak langkah

Kamis, 24 November 2011

Jalan-jalan Ilmiah

“ Ustadz ayo kita jalan-jalan ke Amplaz”, usul Rizki salah satu siswa saya. Kebetulan setiap hari Jumat saya bertanggung jawab atas satu kelompok Liqo kelas 4. Hari ini tidak ada materi khusus yang disiapkan. Jadi saya katakana pada anak-anak yang jumlahnya 10 orang itu baha hari ini kita hanya akan bersemang-senang. Hari ini akhirnya kita memang hanya senang-senang. Diawali dengan “bancakan” serabi solo yang kita beli di depan sekolah, kegiatan dilanjutkan dengan jalan-jalan ke lapangan parker di selatan sekolah. “Kita jalan-jalan melihat pohon yg kalian tanam yuk!” usul saya pada anak-anak. “Ustadz kita jalan-jalan saja ke Amplaz,” Rizki kembali mengajukan usulnya yang belum saya tanggapi serius. “Iya Ust, kita jalan-jalan ke Amplaz. Aku mau maen di Timezone.” Arung mendukung usul Rizki. Anak-anak pun mulai berdepat tetang apa yang akan mereka lakukan di Amplaz jika mereaka jadi berkunjung ke sana. Hal yang mebuat saya agak terkejut saat anak-anak itu berdebat adalah usulan mereka. “Kita survey saja Ustadz di Amplaz,” usul Rizki,” Itu kan social science.” “Iya Ust, kita cari tahu orang-orang yang datang itu belinya apa? Terus mereka itu beli produk Indonesia apa enggak?” Tambah Nur Ilham. Dialog pun berlanjut sampai pada arah menetukan kapan waktu dan hal-hal teknis. Sembari berjalan dan melayani setiap pertanyaan yang mereka ajukan, saya berfikir apa kiranya yang mebuat mereka berfikir melakukan survey di tempat dimana mungkin anak-anak seusia mereka hanya akan berfikir bermain dan belanja. Saya jadi teringat mengapa di dalam kurikulum UK yang kami pakai selalu ada acara observasi dan collecting data alias mengumpulkan data dan membahasnya. Subhanallah kebiasaan yang dibangun dari kelas satu itu kini sedikit demi sedikit mulai menujukan hasil. Rasa ingin tahu anak yang dibarengi keterampilan membuktikan sebuah penomena. Mungkin inilah yang dinamakan Inquiry Learning Process. Wallahuaalambisawab. Saya hanya bisa berdoa semoga setiap ketulusan perjuangan Ustadz dan Ustadzah menjadi berkah bagi lahirnya generasi Islam yang lebih baik. Amin. Bersemangaaaaaat 

Selasa, 07 Juni 2011

Semangat Sang Guru: INILAH ALASAN KENAPA ILMUWAN BANYAK DARI EROPA

Semangat Sang Guru: INILAH ALASAN KENAPA ILMUWAN BANYAK DARI EROPA: "Repost from http://psikologi-online.com/kegagalan-sistem-pendidikan-asiaPada edisi 26 Maret 2010, salah satu jurnal sains paling bergengsi ..."

INILAH ALASAN KENAPA ILMUWAN BANYAK DARI EROPA

Repost from
http://psikologi-online.com/kegagalan-sistem-pendidikan-asiaPada edisi 26 Maret 2010, salah satu jurnal sains paling bergengsi di dunia, Science, memuat sebuah artikel singkat berjudul "Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity", yang ditulis oleh William K. Lim dari Universiti Malaysia Sarawak. Dituturkannya bahwa meskipun sejak bertahun-tahun lalu Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains berkat sangat besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya Asia masih tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara). Menurutnya, akar permasalahannya adalah budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.

Di Asia, para pelajar dan sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya. Para pelajar yang memiliki skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes. Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak. Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi. Tidak heran jika kemudian latihan-latihan tes mengambil porsi besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia karena keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah itu.

Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orangtua di Asia lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah sejak usia dini. Di Singapura, pada tahun 2008, sejumlah 97 dari 100 pelajar mengikuti les tambahan pelajaran di berbagai institusi persiapan tes (baca: Lembaga Bimbingan Belajar). Pada tahun 2009, industri persiapan tes di Korea Selatan bernilai 16,3 Miliar US$ atau setara dengan 146,7 triliun rupiah. Jumlah itu kira-kira senilai 36% dari anggaran pemerintah untuk dunia pendidikan di negeri ginseng.

Akibat waktu sekolah yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar Asia hanya terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan dalam penemuan-penemuan ilmiah. Dalam artikelnya, William K. Lim menyatakan bahwa para mahasiswa yang ditemuinya lemah dalam melihat hubungan-hubungan dalam berbagai literatur, membuat kemungkinan-kemungkinan ide-ide, dan menyusun berbagai hipotesis. Padahal, mereka adalah para peraih skor-tes tertinggi. Hal itu membuktikan kalau sistem pendidikan Asia tidak melahirkan talenta saintifik.

Benar bahwa dalam berbagai ujian, para pelajar Asia "selalu" memiliki skor-tes lebih baik dari para pelajar Eropa Barat dan Amerika Utara berkat pendidikannya yang berorientasi skor-tes. Akan tetapi ketika bicara soal kreativitas dan kualitas hasil penelitian, para pelajar Asia jauh tertinggal. Sebagai akibatnya, sangat sedikit ilmuwan berkelas yang dihasilkan Asia. Mayoritas ilmuwan kelas dunia dari negara-negara Asia pun biasanya dididik dalam pendidikan Eropa/Amerika, bukan dalam iklim pendidikan Asia.

Tidak bisa dipungkiri bahwa para pemenang olimpiade sains dunia (fisika, sains, biologi, dan lainnya) mayoritas berasal dari Asia. Indonesia sendiri telah berkali-kali memiliki para juara. Akan tetapi mereka merupakan hasil penggodokan khusus oleh tim khusus olimpiade sains. Mereka bukan hasil alami iklim pendidikan seperti biasa. Jadi, fenomena itu sama sekali tak mengindikasikan keberhasilan sistem pendidikan di Asia. Faktanya, meskipun mendominasi kejuaraan, Asia tak kunjung melahirkan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Jumlah ilmuwan yang terlahir dari Eropa/Amerika sangat timpang jauhnya dibandingkan dari Asia.

Bukti kegagalan sistem pendidikan Asia dalam menelurkan talenta saintifik berlimpah ruah. Benar bahwa Asia, terutama Asia Timur, digambarkan kuat dalam menyerap pengetahuan yang ada dan dalam mengadaptasi teknologi yang sudah ada (maklum, mereka canggih dalam mengingat). Akan tetapi Asia gagal membuat kontribusi orisinil terhadap ilmu-ilmu dasar. Hingga kini tidak ada temuan-temuan ilmiah berarti dari Asia. Kemajuan besar dalam sains dan teknologi yang digapai negeri-negeri Asia tidak ada yang merupakan karya orisinil Asia: nyaris semuanya merupakan adaptasi teknologi dari negeri-negeri barat. Padahal, negeri-negeri barat sempat cemas dengan besarnya investasi negara-negara Asia terhadap dunia pendidikan yang jumlahnya jauh melebihi investasi mereka. Dikuatirkan mereka bakal terkejar dan lantas tertinggal dari Asia dalam satu atau dua dekade saja. Akan tetapi, ternyata mereka tak perlu risau lagi. Investasi pendidikan besar-besaran negara-negara Asia telah gagal karena kesalahan Negara-negara itu dalam membangun budaya pendidikannya. Kini, Asia tetap tertinggal di belakang.

Indonesia agaknya tidak belajar dari kegagalan investasi pendidikan di negara-negara Asia lain. Pendidikan Indonesia saat ini ikut-ikutan berorientasi pada skor-tes. Konkretnya, skor-tes saat ujian nasional menjadi syarat mutlak kelulusan. Lantas, di mana-mana di berbagai sekolah di seluruh penjuru negeri, orientasi pengajarannya hanya agar para peserta didiknya berhasil melewati ujian nasional. Bulan-bulan menjelang ujian, berbagai mata pelajaran yang tidak diujiankan akan dihapus dari jadwal. Latihan tes ditekankan. Berbagai les diselenggarakan. Maklum, sekolah akan dianggap gagal jika tidak berhasil meluluskan siswa-siswanya dalam ujian nasional. Para politisi pun beramai-ramai memanasi suasana dengan `memaksa' para sekolah di daerahnya untuk bisa meluluskan siswa-siswanya, apapun caranya. Sebab, skor-tes ujian nasional di suatu daerah juga menjadi citra daerah itu. Lantas tak mengherankan jika muncul berbagai macam kecurangan untuk mengatrol nilai para siswa agar bisa lulus ujian.

Pendidikan yang berorientasi skor-tes menjadi berkah tersendiri bagi industri persiapan tes. Industri itu akan menjadi industri pendidikan yang paling menjanjikan. Potensinya luar biasa besar. Dengan jumlah pelajar yang hanya kurang dari 20% dari jumlah pelajar di Indonesia, industri persiapan tes di Korea Selatan telah menuai kapitalisasi senilai 146,7 triliun rupiah. Bayangkan besarnya potensi pasar industri persiapan tes di Indonesia, potensinya bisa diduga ratusan triliun rupiah. Anda tertarik?

Buah yang akan dituai dari budaya pendidikan berorientasi skor-tes sangat jelas, seperti ditunjukkan negara-negara Asia lain yang telah gagal: ketidakmampuan menghasilkan ilmuwan. Maka, selamanya, selama budaya pendidikan itu tak diubah, Indonesia tak akan pernah mampu menjadi pelopor di bidang sains dan teknologi. Indonesia hanya akan menjadi pengekor karya ilmiah negeri-negeri lain, seperti selama ini. Masih mending negara-negara Asia lain, seperti Korea, Taiwan, China, Singapura dan Jepang yang mampu membuat adaptasi teknologi sehingga memakmurkan negerinya. Sedangkan kita, mengadaptasi saja tak mampu, apalagi mencipta.

Agaknya pemerintah Indonesia tetap `kekeuh' mempertahankan kebijakan pendidikan skor-tes itu dengan berbagai alasannya. Tapi, pertimbangkanlah ini: jika negeri-negeri semaju seperti Korea, Jepang, Taiwan, Singapura saja telah dianggap gagal menelurkan para ilmuwan (dan dengan demikian gagal menjadi tuan di bidang sains dan teknologi) gara-gara budaya pendidikannya yang berorientasi skor-tes, masa sih kita harus meniru mereka?

Mengutip William K. Lim: "A radical trasformation of the educational culture must happen before homegrown Asian science can challenge Western technological dominance."

Benar kata Tuan Lim, kita memerlukan transformasi radikal dalam pendidikan kita, atau kita akan terus menjadi negeri tak dianggap siapa-siapa.


Repost from http://satriadharma.com/

Kamis, 02 Juni 2011

A Dream form Children of the World

by: Fely Hilman

We are children
We are children of the world
We have a dream
A dream from children of the world

If there is no war
We live together
We hold each others
Now and forever

Stop fighting
Stop shooting
Stop killing
Stop worrying

We want a peace world
We want a peace world
We want a peace world
We want a peace world

Rabu, 01 Juni 2011

Ujung Senja di Sekolah

alhamdulillah....mentari mulai meredup. tanda pangilan pulang telah datang.
hari-hari di sekolah penuh dengan aktifitas. semoga setiap langkah, perbuatan dan pemikiran bermanfaat untuk generasi mendatang.
Allah berkahir langkahku, langkah ustad dan uastadh rekan-rekanku.
Semoga esok matahari kembali benderang, bersinar terang, menyambut masa depan gemilang generasi rabani di muka bumi.
Selamat sore sekolahku
insya Allah esok kita bertemu dalam bahtera ilmu dan masa depan yang terang
(besok libur ya, jadi sampai jumpa hari jumat. mau jalan-jalan sama istri ke kali urang. yuuuuukkk!!! :)

Rabu, 25 Mei 2011

Siang di Sekolah

Udah siang lagi. Panas dan rasanya tanpa inspirasi. Aku bingung mau nulis apa. Panas...berkeringat dan tidak tahu apa yang harus aku tulis.
Pagi ini aku mewawancara Ustadz Budi dan Ustadzah mira. Subhanallah...sungguh luar biasa apa yang mereka korbankan untuk sekolah.
Moga menjadi pahala yang besar untuk mereka dan semangat itu yang akan memajukan pendidikan Indonesia. Semangat berjuang dan berkorban.

Senin, 23 Mei 2011

Menulis Kembali

lama rasanya tak menyambangi halaman ini. sudah berbulan-bulan nafasku untuk menulis tersendat karena banyak aktifitas rutin yang kadang melelahkan. ah betapa ruginya aku. setiap ayat petunjuk hidu tak ku rangkai. dan hanya ku biarkan berserak dan hilang. sungguh merugi jika begitu.
mulai hari ini aku akan menuliskanya.
aku harus menuliskanya. agar aku tidak termasuk orang-orang yang merugi dalam melalui hikmah-hikmah kehidupan.
aku harus menulis. sekarang dan seterusnya! sepanjang hayatku! amin